Tuan Tigabelas adalah rapper asal Indonesia yang tertarik membahas isu lingkungan lewat lagu
karyanya. Pada 2019 ia merilis lagu berjudul Harimau Sumatera, yang keuntungannya didonasikan untuk pemulihan satwa tersebut. Pada 2024, Tuan Tigabelas berkolaborasi dengan King of Borneo dan Madani Berkelanjutan dalam memproduksi lagu “Suar”yang kini bisa disaksikan di platform YouTube. Proyek ini adalah bagian dari Merapah Banua, sebuah inisiatif kolektif pengarsipan budaya dan lingkungan masyarakat adat yang digagas Madani Berkelanjutan dan Putussibau Art Community.
Lewat lagu “Suar” Tuan Tigabelas bicara soal urgensi pengakuan tentang hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu pula, penting bagi kita untuk mendorong disahkannya Rancangan Undang Undang
Masyarakat Adat.
Bagi Tuan Tigabelas, pembuatan lagu Suar adalah perjalanan spiritual. Joan Rumengan berbincang
dengan Tuan Tigabelas untuk tahu alasan-alasan di balik perasaan tersebut.
“Bagaimana ceritanya bisa berkolaborasi dengan King of Borneo untuk Lagu Suar?”
Sebenarnya aku sudah tahu nama King of Borneo sejak lama dan pernah tulis komentar-komentar juga di YouTube mereka. Lalu suatu hari aku bertemu tim Madani Berkelanjutan di salah satu acara. Kami berbincang soal ketertarikanku dengan isu-isu lingkungan. Tim Madani cerita bahwa mereka ingin membuat proyek yang membicarakan tentang hutan adat dan masyarakat adat. Ternyata mereka sudah simpan lagu soal lingkungan yang diciptakan oleh King of Borneo. Akhirnya aku ikut serta berkarya di lagu itu. Dari sanalah tercipta jembatan kolaborasi musik.
“Apa kesan pertama saat mendengar King of Borneo?”
Kesan pertama sebetulnya merasa, ini kok lumayan sombong ya namanya “King of Borneo” hahaha. Tapi setelah dengar karyanya, aku kagum. Aku selalu kagum sama anak-anak muda yang bergerak di industri kreatif, seni khususnya dan mereka berani ngomong apa yang sedang mereka perjuangkan untuk daerah mereka. Aku rispek banget ya.
Mereka dengan akses yang terbatas di sana bisa berbicara tentang sesuatu yang signifikan sementara
aku dan teman-teman bahkan gak tentang masalah yang mereka bicarakan lewat lagu mereka. Rispek
mentok sih aku. Merasa lihat manusia sesungguhnya gitu. Mereka punya peran dalam perputaran dunia ini.
“Kenapa tertarik terlibat proyek ini?”
Aku ingin punya fungsi sebagai manusia. Aku pengen apa yang aku kerjakan, yang aku percayai, dan
ucapkan bisa bermanfaat untuk orang lain dan bisa dipertanggungjawabkan di hari akhir. Yang aku
lakukan mungkin ini gak akan mengubah total keadaan tapi minimal anak-anakku tahu bahwa Bapaknya nggak diam saja.
“Apa hal paling menarik selama proses produksi musik?”
Semangat King of Borneo mengerjakan proyek ini sih. Karena mereka datang dari daerah yang minim
infrastruktur musik ya. Mesti jalan puluhan kilometer, dua jam sekali jalan naik motor untuk rekaman dan rekamannya di dapur rumah teman. Literally. Belum lagi mesti bolak balik revisi jadi bolak balik pergi jauh.
Segala keterbatasan akses dan perlengkapan itu gak mematahkan semangat mereka buat ngomongin
hal yang ingin mereka suarakan. Mereka tetap berproses. Luar biasa sih.
Harusnya itu jadi tamparan buat kita yang punya banyak akses dan perlengkapan.
“Sejak kapan Tuan Tigabelas tertarik membahas isu lingkungan?”
Aku mulai ngulik waktu mengerjakan album pertama, mungkin di 2018.Waktu itu aku eksplorasi metode penulisan di genre hip hop yang menggunakan metode pengandaian. Mengandaikan diriku sebagai harimau Sumatera karena kesannya dia paling buas.
Di satu titik, temanku bertanya, “Memang harimau sumatera kenapa?” Aku nggak bisa jawab. Dari situ aku ngulik tentang satwa tersebut dan menemukan fakta bahwa mereka satwa yang eksistensinya terancam. Waktu ngerilis album di 2019, aku kasih judul Harimau Sumatera dan hasilnya dialokasikan ke konservasi hutan dan harimau.
“Apa ada proyek lain juga yang berkaitan dengan isu lingkungan?”
Aku dan beberapa teman musisi bikin serikat namanya IKLIM (The Indonesia Communications, Climate, Arts & Music Lab) Bikin lagu yang memang concern-nya untuk lingkungan. Ini sudah berjalan dua kali. Yang satu di Bali. Diprakarsai sama Bli Robby Navicula dan Mbak Endah dari Endah n Reza.
“Di project “Suar” ini, bagaimana cara menentukan tema yang mau dibahas dalam lirik lagu?”
Waktu itu konteksnya mau bahas masyarakat adat beserta RUU masyarakat adat yang gak kunjung
disahkan. Lalu Madani memberangkatkan aku ke Kapuas Hulu untuk berinteraksi dengan masyarakat adat di sana. Yang kurasa penting disampaikan adalah mereka sudah punya “teknologi canggih” tersendiri untuk hidup berdampingan dengan alam bahkan dari sebelum adanya negara.
Jadi jelas fungsi masyarakat adat ini penting banget. Mereka tahu betul cara memanfaatkan lingkungan tanpa perlu mengeksploitasi.
Tinggal bagaimana caranya isu yang kompleks dan tidak seksi ini kita bawa ke ranah pop gitu biar
tementemen atau generasi yang lebih muda bisa lebih mudah mencerna. Akhirnya kita sepakat untuk
bicara soal manusia yang sudah hidup berdampingan dengan alam dari sebelum adanya form berbentuk negara ini.

Foto: Agung Dirawan
“Kesan apa sih yang paling mengena saat datang ke Kapuas Hulu?”
Local wisdom mereka. Ini bisa dilihat dari contoh-contoh yang sangat sederhana. Waktu kami di perjalanan dengan sampan, ada salah satu teman yang bilang lapar, akhirnya kami menepi di semak-semak. Salah satu orang masuk ke dalam semak-semak untuk mengambil Pakis. Dia Cuma ambil cuma satu ikat kecil.
Lalu kami minggir lagi untuk berburu ikan. Yang diambil jumlahnya sama dengan orang yang ada di
perahu. Sangat efisien tidak eksploitasi, tidak over consume, tidak memakai segala sesuatu secara
berlebihan.
Cara hidup sesimpel itu ternyata berpengaruh sangat baik buat alam.
“Apa pembeda yang paling nyata dengan cara hidup di kota besar seperti Jakarta?”
Aku makan semua yang mereka tanam. Aku dengar bahwa bibit dari beras yang mereka makan sudah
berusia ratusan tahun dan memang berasal dari daerah sana.
Cara mereka memanen adalah dengan mencabut satu per satu padi secara perlahan untuk menghormati tanaman itu. Itu satu bukti bahwa mereka punya sopan santun terhadap alam.
Mereka gak akan pernah kelaparan karena punya lumbung padi yang mungkin stoknya bisa buat dua
tahun.
Jadi mereka nggak butuh bantuan siapapun mereka cuma butuh lahannya jangan diganggu.

Foto: Izhar Alkhalifard
“Sayangnya ancaman-ancaman terhadap ruang hidup mereka sudah ada ya. Apa Tuan Tigabelas juga bisa merasakan saat datang ke Kapuas Hulu?”
Kalau aku ngobrol sama teman-teman dan anak-anak muda sekitar itu ancamannya terasa jelas banget karena sudah ada beberapa area yang diambil sama korporasi.
Kenapa mereka mengizinkan kami masuk ke sana? Karena mereka juga ingin membawa isu ini ke
masyarakat luar. Harapannya bisa berkolaborasi dengan cara masing-masing karena mereka sangat
peduli dengan tempat hidup mereka.
“Dalam konteks ini, kolaborasi lewat “Suar” ya. Buat Tuan Tigabelas, lagu ini merefleksikan semangat apa?”
Aku ingin mengarahkan orang-orang untuk punya perhatian di isu ini. Anak-anak muda gak perlu merasa tabu untuk bicara tentang alam dan hutan. Ingin agar isu lingkungan ini bisa jadi bahasan saat nongkrong.
Lirik lagu Suar direvisi berkali-kali agar terdengar semudah mungkin jadi bisa dimengerti siapapun
termasuk anak kelas 6 SD. Anakku misalnya. Dia langsung mengerti setelah dengar Suar dan bilang “Oh ada ya, Dad orang-orang yang tinggal dan jagain hutan, nggak perlu polisi hutan ya, Dad?”
Tugas kita juga untuk memilihkan informasi yang benar dan berguna untuk generasi berikutnya.
Apa pesan untuk mereka yang masih berjarak dengan isu lingkungan?
Kalau aku intinya apapun yang kita gunakan sekarang, saat ini produk turunan sawit banyak banget dari mulai kebutuhan mandi, makan, apapun itu. Ingat kalau ada air mata, darah yang harus dikorbankan. Jadi pastikan apapun yang kita nikmati, kita bertanggungjawab atas itu. Gunakan seperlunya. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan energi dan sampah.
Kalau mau mengubah dunia, mulailah dari manusia yang kamu lihat di cermin, nggak usah jauh-jauh.




