Koronangis, Senandung Sastra Lisan Masyarakat Adat Dayak Tamambaloh Apalin

Masyarakat adat Dayak Tamambaloh Apalin di Benua Tengah, Kapuas Hulu, memiliki tradisi bernama koronangis, seni bertutur atau sastra lisan yang menceritakan sejarah dan kisah-kisah nenek moyang dalam bahasa tua.

Koronangis, Senandung Sastra Lisan Masyarakat Adat Dayak Tamambalo Apalin

Berkunjung ke Rumah Betang Sao Langke Dai Bolong Pambean di Benua Tengah, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, jika beruntung kita mungkin akan bertemu para penutur koronangis, seni bertutur tradisional, sebuah bentuk sastra lisan masyarakat adat Dayak. Sampai tulisan ini rilis, hanya tersisa tiga orang penutur asli—ketiganya perempuan. Salah satu penuturnya bernama Albina Banau, yang tinggal di rumah betang.

Koronangis biasanya menceritakan kisah-kisah dari masa lalu atau suatu kejadian berisi nasihat kehidupan, permohonan, bahkan doa-doa keselamatan. Seni tuturan khas suku Dayak ini biasanya disenandungkan serupa lagu dengan karakter seperti syair berpola bebas. Memang tidak ada ketentuan yang saklek, tetapi biasanya bagian awal syair banyak dimulai dengan nada tinggi—kebanyakan di tangga nada 6 (la)—, yang kemudian semakin meliuk turun menuju akhir syair.

Selayaknya sastra lisan, koronangis diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya hanya melalui tuturan. Karena lisan, tidak ada buku atau hikayat yang dibaca atau menjadi pegangan setiap kali penutur menyenandungkan koronangis. Berdasarkan cerita Ibu Banau, seorang penutur belajar dari generasi sebelumnya dengan cara menghafal syair dalam jarum (bahasa) Tamambaloh Apalin Tua.

Lalu, ketika hendak mengisahkan kembali syair tersebut, penutur bebas untuk mengolah syair sesuai dengan perasaan, ingatan, dan pengalaman si penutur. Karena itu, sebagian besar syair kerap kali terjadi secara spontan dan mengalir begitu saja dari benak dan tuturan si penutur.

Koronangis biasa dilakukan sebagai salah satu dari banyak rangkaian upacara adat. Karena itu, upacara koronangis biasanya berlangsung panjang; antara berhari-hari hingga sebulan. Seorang penutur koronangis pun diharuskan mengenakan busana adat, terdiri dari datulu babenye sebagai penutup kepala, pakaian dari tenun sungkit, dilengkapi oleh kalung dan gelang manik.

Sayangnya, seiring zaman, usia penutur koronangis yang masih hidup kini semakin tua dan belum ada generasi muda yang mampu menggantikan mereka dalam berbagai upacara adat. Tidak hanya regenerasi penutur yang mengkhawatirkan, pelestarian bahasa Tamambaloh Apalin Tua yang digunakan dalam syair koronangis pun semakin sedikit yang menggunakan dan memahaminya. 

Keranjang Belanja