King of Borneo adalah band yang berasal dari Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang fokus menyuarakan isu lingkungan. Grup musik tersebut dibentuk pada 2016 oleh Agustinus Surya Indrawan, disapa Aday.
Kesadaran membentuk King of Borneo muncul ketika Aday sedang berada dalam perantauan untuk meniti karier bermusiknya. Di perantauan, karier musik Aday perlahan berkembang namun ia tak bisa mengabaikan rasa bersalah setelah menyadari bahwa dirinya tidak cukup mengenal potensi dan permasalahan di kampung halamannya sendiri. Ia tak puas hanya melihat tanah kelahirannya dari tayangan hiburan di layar kaca lantas memutuskan untuk kembali dan menyalakan kreativitas di Kapuas Hulu sekaligus melanjutkan panggilan bermusiknya di sana.
Kini King of Borneo setidaknya sudah mengeluarkan delapan lagu yang mengisahkan tentang hutan, fauna, dan masyarakat adat di Kapuas Hulu. Suar adalah single terbaru King of Borneo yang berkolaborasi dengan Tuan Tigabelas, Merapah Banua, dan Putussibau Art Community. Aday mulai menulis lirik lagu Suar pada 2019.
Joan Rumengan berbincang dengan Aday untuk mengetahui nilai-nilai di balik lagu Suar.
Bagaimana ceritanya bisa keliling Kapuas Hulu?
Temanku seorang periset meminta bantuanku waktu dia berencana meriset tentang orangutan dan kehidupan sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Dari situ aku jadi tahu potensi alam Kalimantan Barat yang biasanya hanya aku lihat di televisi waktu aku sedang merantau di Jakarta dan Jogjakarta. Sebenarnya waktu di perantauan itu merasa bersalah juga karena tidak tahu ada tempat-tempat sebagus itu di kampung halamanku.
Lalu bagaimana akhirnya King of Borneo terbentuk?
Jadi di tahun 2015 setelah keliling ke berbagai pedalaman, aku merasa tersentuh karena sudah melihat sendiri bagaimana semesta sudah memberikan segala yang indah. Dari situ aku bikin beberapa tulisan dan juga baca-baca tulisan teman di media sosial. Kemudian aku rangkai jadi lirik lagu. Waktu itu jadi lagu pertama berjudul Heart of Borneo. Band King of Borneo lahir di 2016 dengan debut lagu tersebut.
Apa yang diceritakan di lagu Heart of Borneo?
Cerita soal hutan dan kehidupan di sekitarnya. Tentang Danau Sentarum karena saat itu aku merasakan keindahan magis waktu melihat danau tersebut.
Kisah-kisah apalagi yang dituangkan dalam lagu setelah Heart of Borneo?
Tahun 2019 kami membuat lagu tentang hutan yang judulnya Hutan Rimba. Lagu itu bercerita tentang penjaga hutan. Secara mitologi, penjaga hutan adalah spirit yang tak kasat mata. Di lagu tersebut dikisahkan bagaimana penjaga hutan ini menghampiri perwakilan perusahaan yang hendak membabat hutan adat untuk penanaman kelapa sawit.
Dan lagu itulah yang kami kirim ke Tuan Tigabelas lewat pesan di Instagram. Kami kirim karena kami nge-fans dengannya. Dia merespons pesan itu lalu aku langsung bermimpi ingin bekerjasama dengannya suatu hari karena merasa kami punya visi yang sama yakni membicarakan isu-isu lingkungan.
Apa yang dipikirkan waktu membuat lirik lagu Suar?
Yang dipikirkan adalah petuah leluhur dan tetua adat. Jadi setelah membantu teman untuk riset, aku memutuskan untuk lebih sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan volunteering di berbagai wilayah hutan. Dari sana aku bertemu dengan tetua-tetua adat yang hidupnya benar-benar mencerminkan keselarasan dengan alam.
Di dalam kampung-kampung adat terlihat bahwa hidup selaras dengan alam ini adalah pesan nenek moyang yang masih diterapkan. Mereka membuka lahan secukupnya, mengonsumsi secukupnya.
Benar-benar mempraktikkan nilai konservasi. Jauh sebelum kita bicara soal konservasi di zaman sekarang.
Saya bertemu Apai Janggut yang selalu berkata tanah ibu kami, hutan bapak kami, sungai darah kami.
Saya juga bertemu seorang Kepala Desa Sungai Utik yang masih teguh menjaga alam. Dia sama sekali tidak pernah berpikir menukar wilayah adat dengan uang.
Si kepala desa sering berpesan: lebih baik menjaga mata air daripada meneteskan air mata.
Aku merasa orang-orang tersebut luar biasa. Mereka juga orang-orang yang melestarikan kehidupan nenek moyang kita. Hidup harmonis dengan alam dan itu terbukti cukup.
Foto: Izhar Alkhalifard
Bagaimana dengan orang-orang muda di wilayah adat?
Memang banyak yang merantau ya. Tapi ada juga yang masih menetap di beberapa wilayah adat dan mengimplementasikan cara hidup yang diturunkan para tetua adat.
Jadi apa bisa dibilang Suar juga bisa jadi pesan pengingat bagi para perantau?
Bisa juga. Bagiku ini memang pengingat bagi kami atau kita semua untuk melakukan apa yang jadi tugas atau panggilan untuk hidup selaras dengan alam tadi. Dalam kasusku, minatku adalah bermusik sehingga lagu yang kuutarakan dan cara hidupku kuupayakan selaras dengan apa yang kutulis dalam lirik.
Apa yang paling berkesan saat memproduksi lagu Suar?
Kesempatannya. Kesempatan bahwa Merapah mau membantu produksi lagu ini dan menjembatani ke Tuan Tigabelas. Mereka ini orang-orang gila hahaha.
Selain itu, kesempatan berkolaborasi dengan Tuan Tigabelas. Karena kami dari dulu saat melakukan kegiatan volunteering itu biasanya sambil mendengar lagu-lagu karya Tuan Tigabelas.
Kalau tantangannya dalam produksi lagu?
Pertama adalah menyelaraskan lirik dan musik King of Borneo dengan aliran hip hop dari Tuan Tigabelas. Aku harus melakukan beberapa perubahan dan penyesuaian lirik dan aransemen agar Suar terdengar harmonis. Rekaman-rekaman kukirim ke Tuan Tigabelas, di akan mengisi bagiannya, dan kami rutin berdiskusi via telepon.
Kedua adalah waktu terutama untuk mengumpulkan teman-teman di Putussibau. Yang ketiga adalah ketiadaan ruang ideal untuk rekaman. Kami perlu mencari kompleks perumahan yang sepi dan akhirnya meminjam salah satu rumah kawan kami. Kami melakukan rekaman di dapur rumahnya.
Vokalis King of Borneo bahkan sampai bilang bahwa King of Borneo ini keras kepala karena mau mengupayakan lagu Suar untuk dijadikan materi musik. Mengingat segala keterbatasan yang perlu kami lalui.
Apa lirik lagu Suar yang paling mengena bagi Anda?
Tanah ibu kami, hutan bapak kami, sungai darah kami.
Lebih baik menjaga mata air daripada meneteskan air mata.
Sudah cukup puaskah dengan hasil kolaborasi ini?
Aku melihat Suar ini bukan hanya karya musik tapi juga jembatan untuk solidaritas kolektif. Ada yang sukarela membantu membuat video klip, ada yang membantu dana, dan juga membatu dari sisi penulisan.
Aku juga merasa King of Borneo adalah sebuah gerakan untuk menyuarakan isu. Berkarya di Kapuas Hulu terasa lebih berdampak dibanding bermusik di kota-kota besar seperti Jakarta dan Jogja di mana bermusik lebih terasa seperti pekerjaan profesional.
Apa harapannya lewat lagu Suar?
Harapannya kami punya kesempatan untuk terhubung dengan orang-orang baik lainnya yang punya kesamaan visi dan tujuan. Dan semoga ini juga bisa sampai ke telinga mereka yang belum tahu tentang isu lingkungan di Kapuas Hulu atau King of Borneo.
Ada banyak orang yang kehilangan tempat tinggalnya. Perjuangan masyarakat adat di sini sudah berlangsung sangat lama. Di luar sana mungkin ada juga kejadian serupa semoga karya Suar bisa memotivasi orang untuk berkarya atau melakukan hal lain, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, yang tujuannya untuk menjaga ibu bumi kita.
Foto: Agung Dirawan