Sungai Kapuas meliuk-liuk sepanjang 1.143 km, menjadikannya sungai terpanjang di Indonesia. Berawal dari ketinggian di Pegunungan Muller, Sungai Kapuas mengalir melintasi sejumlah kabupaten, termasuk Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau, Sanggau, Pontianak sebelum akhirnya bermuara di Selat Karimata (Laut China Selatan/Laut Tiongkok Selatan).
Dari Sungai Kapuas, berbagai anak sungai terbentuk, mengisi cekungan danau yang jadi sumber penopang kehidupan bagi beragam etnis yang hidup berdampingan. Salah satunya adalah suku Dayak. Bagi masyarakat adat Dayak, sungai adalah nadi kehidupan. Di mana ada sungai, di situ ada kampung. Bahkan, tradisi penamaan belakang suku Dayak sering kali mengikuti nama sungai di sekitarnya.
Sebagai contoh, Dayak Punan Kareho mendiami aliran Sungai Keriau, sementara Dayak Taman Kapuas menetap di tepian Sungai Kapuas. Begitu juga dengan Dayak Taman Sibau yang bermukim di sepanjang Sungai Sibau, serta Dayak Kayaan Mendalam yang tinggal di DAS Sungai Mendalam. Di Sarawak, terdapat Dayak Iban Batang Rajang yang menetap di aliran Sungai Batang Rajang. Bagi masyarakat adat Dayak, keberadaan sungai tidak hanya sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menjadi penanda eksistensi dan identitas mereka.
Sungai bukanlah sekadar suatu objek pasif, tetapi memiliki daya dan sistem kehidupan yang saling terkait. Dari dalam lubuk-lubuk sungai, masyarakat adat Dayak Iban meyakini keberadaan entitas lain yang disebut sebagai antu nabau; makhluk mitologi berwujud naga yang dapat berubah menjadi ular piton.
Dalam penjelajahan mendalami kekayaan naratif terkait motif-motif tenun, kami mengeksplorasi cerita tentang nabau dari beberapa narasumber di lima rumah betang, seperti Ibu Lidia di Sungai Utik, Ibu Telibae di Sadap, Ibu Liban di Ngaung Keruh, Ibu Kiah di Tekalong, Ibu Nayah di Sumpak Sengkuang, dan Bapak Lom di Kedungkang. Semua narasumber memberikan pandangan yang konsisten mengenai eksistensi nabau.
Nabau digambarkan sebagai makhluk yang baik dan memiliki peran membantu manusia. Hubungan yang harmonis antara nabau dan manusia terus dijaga dengan memberikan sesajian (pedara’) saat melakukan ritual-ritual besar di lubuk-lubuk sungai yang diyakini sebagai rumah bagi nabau.
Terbentuknya simbiosis ini menjadikan masyarakat adat Dayak Iban tidak mengganggu rumah nabau di lubuk sungai. Mereka memandang nabau sama seperti makhluk lainnya, sebagai sesama makhluk yang memiliki kehidupan dan tidak ingin diganggu. Dari sudut pandang ekologi, keberadaan nabau memberikan peran konservasi yang penting di seluruh aspek biotik dan abiotik.
Secara ekologis, lubuk sungai memainkan peran penting sebagai habitat berbagai jenis ikan air tawar, seperti ikan toman (Channa micropeltes), belida (Notopterus spp.), jelawat (Leptobarbus hoevenii), tapah (Wallago spp.), dan semah (Tor tambra). Konsep konservasi bagi masyarakat adat tidak berarti bahwa sumber daya alam tidak dapat dimanfaatkan. Mereka masih boleh memanfaatkan alam dengan cara ramah dan berkelanjutan. Kemunculan nabau ditandai dengan munculnya suara menyerupai perahu ketinting atau bekas tapak ular di tepi sungai.
Potret Nabau dalam Berbagai Seni Kerajinan Iban
Sungai sebagai ruang ekspresi budaya telah menjadi sumber inspirasi bagi seni dan kerajinan masyarakat adat Dayak Iban. Melalui kepekaannya terhadap alam, mereka menciptakan motif nabau di berbagai medium, seperti kain tenun, tikar bemban, dan seni rajah kulit. Para seniman dan perajin menggambarkan nabau berdasarkan imajinasi pribadi mereka, sehingga setiap karya memiliki desain motif yang unik. Kendati demikian, terdapat aturan adat yang harus dipatuhi saat menciptakan motif nabau, seperti pembuatan motif pemakae (motif umpan/makanan untuk nabau), yang bisa berupa gambar ikan, dan katak.
Motif nabau diyakini bernyawa (memiliki kehidupan yang nyata), sehingga pengerjaannya harus dilakukan dengan cepat dan tidak boleh dibiarkan terbengkalai, terutama saat membuat bagian kepala. Ketiadaan perhatian dalam proses pembuatan motif dapat mengakibatkan empa jama, penyakit yang diyakini hanya dapat disembuhkan oleh tabib khusus dan tidak dapat diobati secara medis.
Untuk menghindari terkena empa jama, seniman dan perajin biasanya membuat kerajinan di waktu luang mereka, setelah selesai masa tanam atau panen padi. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjaga tradisi seni dan kerajinan, tetapi juga menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka sendiri.

Sungai menjadi salah satu sumber air bersih yang seharusnya dijaga dengan baik. Akan tetapi, belakangan ini, aktivitas eksploitasi alam telah menyebabkan degradasi kualitas lingkungan dan munculnya berbagai permasalahan. Terdapat dampak lingkungan akibat kegiatan eksploitasi alam di daerah aliran sungai yang terjadi di sekitar Kabupaten Kapuas Hulu. Penambangan emas ilegal menggunakan jek dan dompeng telah lama beroperasi di Kecamatan Bunut Hulu, Bunut Hilir, dan Putussibau Selatan. Aktivitas ini menjadikan kualitas air menjadi buruk dan berdampak pada hasil tangkapan nelayan yang berada di hilir aktivitas tambang. Intensitas banjir juga menjadi lebih sering terjadi.
Selain itu, terdapat konsesi sawit di Kecamatan Putussibau Utara, Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Batang Lupar, dan Kecamatan Badau, yang secara langsung berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati tumbuhan pewarna tenun, seperti ulin, tengkawang, rengat, engkrebai, dan lainnya. Beberapa rumah pribadi di DAS Mendalam juga tidak luput dari ancaman bahaya abrasi yang membuat bibir sungai semakin mendekat ke rumah-rumah. Contohnya, seperti yang terjadi di Rumah Betang Sayut 1 dan Rumah Betang Sibau Hilir berdasarkan tinjauan langsung.
Diperlukan pendekatan yang beragam untuk menghentikan aktivitas destruktif tersebut. Selain penegakan hukum sebagai tindakan tegas, pendekatan budaya juga bisa menjadi solusi alternatif. Keberadaan nabau bagi masyarakat adat Dayak Iban, misalnya, dapat menjadi cara untuk menjaga dan melindungi sungai. Di suku Dayak lainnya, mungkin ada budaya tersendiri yang dapat digunakan untuk menjaga sungai. Pendekatan perlindungan alam akan lebih efektif jika dilakukan melalui penguatan budaya. Mengingat pentingnya pertimbangan ekologi dalam rencana pembangunan harus tetap memperhatikan konteks budaya lokal untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam.
Artikel pernah diterbitkan pada laman Kolase, 27 April 2024.





